Blog Siapa Syiah, mengungkap siapa syiah sebenarnya

Benarkah Kaum Syiah Mencintai Ahlul Bait? (Bukti-Bukti Pengkhianatan Kaum Syi’ah terhadap Ahlul Bait)

ahlul bait
Kaum Syi’ah menyangka bahwa mereka berloyalitas kepada Ahli Bait (keluarga) Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan mencintai Ahlul Bait. Mereka juga menyangka bahwa madzhab mereka diambil dari ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Ahlul Bait dan dibangun di atas pendapat-pendapat dan riwayat-riwayat dari Ahlul Bait. Karena alasan kecintaan kepada Ahlul Bait, kaum Syi’ah mengafirkan para shahabat yang dianggap menzhalimi dan melanggar kehormatan Ahlul Bait. Inilah keyakinan yang tertanam pada akal-akal kaum Syi’ah.

Benarkah kaum Syi’ah mencintai Ahlul Bait?

Mari kita melihat bagaimana sebenarnya kecintaan kaum Syi’ah kepada Ahlul Bait dan bagaimana sikap Ahlul Bait itu sendiri terhadap kaum Syi’ah.

Definisi Ahlul Bait

Kaum Syi’ah Rafidhah bersepakat untuk membatasi Ahlul Bait Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam hanya pada Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu ‘anhû, Fathimah radhiyallâhu‘anhâ, Al-Hasan radhiyallâhu‘anhumâ, dan Al-Husain radhiyallâhu ‘anhumâ. Kemudian, mereka memasukkan sembilan orang imam dari keturunan Al-Husain radhiyallâhu anhû dalam hal tersebut: (1) Ali Zainul ‘Âbidin, (2) Muhammad Al-Bâqir, (3) Ja’far Ash-Shâdiq, (4) Musa Al-Kâzhim, (5) Ali Ar-Ridhâ, (6) Muhammad Al-Jawwâd, (7) Ali Al-Hâdy, (8) Al-Hasan Al-‘Askar, dan Imam Mahdi mereka, (9) Muhammad Al-‘Askar. [Al-Anwâr An-Nu’mâniyah 1/133, Bihâr Al-Anwâr 35/333, dan selainnya. Bacalah Al-‘Aqidah Fî Ahlil Bait Bain Al-Ifrâd Wa At-Tafrîd karya Sulaimân As-Suhaimy hal. 352-356 dan Asy-Syi’ah Wa Ahlul Bait hal. 13-20 karya Ihsân Ilâhî Zhahîr]
Hakikat definisi kaum Syi’ah tentang Ahlul Bait di atas adalah celaan terhadap Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan, dan Al-Husain radhiyallâhu‘anhum.

Mereka meriwayatkan dari Abu Ja’far Muhammad Al-Bâqir bahwa beliau berkata, “Manusia menjadi murtad setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa âlihi, kecuali tiga orang.” Saya (perawi) bertanya, “Siapakan tiga orang itu?” Beliau menjawab, “Al-Miqdad, Abu Dzarr, dan Salman Al-Fârisy ….” [Raudhah Al-Kâfy 8/198]

Juga datang sebagian riwayat mereka tentang pengecualian untuk tujuh orang, yang Al-Hasan dan Al-Husain tidak tersebut dalam pengecualian itu.

Mereka meriwayatkan dari Amirul Mukmin Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu‘anhû bahwa beliau berkata kepada Qunbur, “Wahai Qunbur, bergembiralah dan berilah kabar gembira serta selalulah merasa gembira. Sungguh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa alihi meninggal dan beliau murka terhadap umatnya, kecuali Syi’ah.” [Al-Amâly hal. 726 karya Ash-Shadûq]

Kaum Syi’ah juga tidak mengakui putri Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagai Ahlul Bait beliau, kecuali Fathimah saja. Mereka berkata, “Ahli tarikh menyebut bahwa Nabi (sha) memiliki empat putri. Berdasarkan urutan kelahirannya, mereka adalah Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah. Namun, menurut penelitian cermat tentang nash-nash tarikh, kami tidak menemukan dalil yang menunjukkan (keberadaan) anak (untuk beliau), kecuali Az-Zahrâ` (‘ain), Bahkan, yang tampak adalah bahwa anak-anak perempuan yang lain adalah anak-anak Khadijah dari suaminya yang pertama sebelum Nabi Muhammad (sha) ….” [Dâ`irah Al-Ma’ârif Al-Islâmiyah Asy-Syi’iyyah 1/27 karya Muhsin Al-Amin]

Demikianlah kedunguan kaum Syi’ah dalam menentang Allah Ta’âlâ, padahal Allah menyebut anak-anak perempuan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan konteks jamak yang menunjukkan jumlah lebih dari tiga sebagaimana dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin bahwa hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka ….” [Al-Ahzâb: 59]

Kaum Syi’ah juga tidak memasukkan istri-istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam lingkup Ahlul Bait, padahal ayat tentang keutamaan Ahlul Bait asalnya ada dalam konteks penyebutan istri-istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Perhatikanlah firman-Nya,
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا. وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا. وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“Wahai istri-istri Nabi, kalian tidaklah seperti perempuan lain jika kalian bertakwa. Maka, janganlah kalian lembut dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Hendaklah kalian tetap berada di rumah-rumah kalian, janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dahulu, serta dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai ahlul bait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa-apa yang dibacakan di rumah kalian berupa ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabi). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” [Al-Ahzâb: 32-34]

Kebencian kaum Syi’ah terhadap para istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam sangatlah besar, terkhusus terhadap Aisyah dan Hafshah radhiyallâhu‘anhmâ, sehingga salah seorang pembesar mereka dari Hauzah, Sayyid Ali Gharwy, berkata, “Sesungguhnya, sebagian kemaluan Nabi harus masuk ke dalam neraka karena beliau telah menggauli sebagian perempuan musyrik.” [Disebutkan dalam Kasyful Asrâr hal. 21 karya Husain Al-Musawy]

Mereka juga tidak memasukkan anak-anak Ali bin Abi Thalib –kecuali Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallâhu‘anhumâ – ke dalam golongan Ahlul Bait, padahal Ali memilliki beberapa anak selain Al-Hasan dan Al-Husain, yaitu Muhammad bin Al-Hanafiyyah, Abu Bakr, Umar, Utsman, Al-‘Abbâs, Ja’far, Abdullah, ‘Ubaidullah, dan Yahya. [Asy-Syi’ah Wa Ahlul Bait hal. 20 karya Ihsân Ilâhî Zhahîr]

Kaum Syi’ah juga tidak menganggap anak-anak Al-Hasan sebagai Ahlul Bait sebagaimana mereka juga tidak menganggap anak-anak Al-Husain sebagai Ahlul Bait, kecuali Ali Zainul ‘Abidin. Padahal, Al-Husain memiliki anak yang bernama Abdullah dan Ali (lebih tua daripada Ali Zainul ‘Abidin) yang keduanya ikut mati syahid bersama Al-Husain di Karbalâ`. [Huqbah Min At-Târikh hal. 242 karya Utsman Al-Khumayyis]
Sebagaimana pula, mereka juga tidak menganggap Bani Hasyim sebagai Ahlul Bait, padahal Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam memasukkan mereka ke dalam lingkup Ahlul Bait sebagaimana dalam kisah Abdul Muthlib bin Rabî’ah bin Harits bin Abdul Muthlib dan Al-Fadhl bin ‘Abbâs bin ‘Abdul Muthlib, yang meminta untuk dipekerjakan terhadap harta sedekah agar keduanya memperoleh upah untuk menikah maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada keduanya,
إِنَّ الصَّدَقَةَ لَا تَنْبَغِي لِآلِ مُحَمَّدٍ إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ
“Sesungguhnya sedekah tidaklah pantas bagi keluarga Muhammad. Hal tersebut hanyalah kotoran-kotoran manusia.” [Diriwayatkan oleh Muslim]

Bahkan, kaum Syi’ah menyebut bahwa Ali bin Abi Thalib berdoa, “Ya Allah, laknatlah dua anak Fulan -yaitu Abdullah dan ‘Ubaidullah, dua anak Al-‘Abbâs, sebagaimana dalam catatan kaki-. Butakanlah mata keduanya sebagaimana engkau telah membutakan kedua hati mereka ….” [Rijâl Al-Kisysyi hal 52]
Juga sebagaimana mereka menghinakan ‘Âqil dan Al-‘Abbâs dalam sejumlah riwayat mereka.

Beberapa Penghinaan kaum Syi’ah terhadap Ahlul Bait[1]

Tidak pernah suatu hari pun kaum Syi’ah mencintai dan menaati Ahlul Bait. Bahkan, buku-buku mereka telah menetapkan penyelisihan dan penentangan mereka terhadap Ahlul Bait.

Perhatikanlah kelancangan mereka terhadap Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat mereka, bahwa Ali memperbandingkan antara dirinya dan diri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Ali berkata, “Aku adalah pembagi Allah antara Surga dan Neraka. Aku adalah pembeda terbesar. Aku adalah pemilik tongkat dan misam. Sungguh seluruh malaikat dan rasul telah mengakui untukku apa yang mereka diakui untuk Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi. Sungguh aku telah dibebani seperti beban Ar-Rabb. Sungguh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi akan dipanggil kemudian diberi pakaian, Aku juga dipanggil kemudian diberi pakaian. Beliau diminta berbicara dan Aku juga diminta berbicara. Hingga di sini, Kami adalah sama. Adapun Aku, sungguh Aku telah diberi beberapa sifat yang tidak pernah diberikan kepada siapapun sebelumku. Aku mengetahui angan-angan, bencana-bencana, nasab-nasab, fashlul khithab. Tidaklah luput sesuatu yang telah mendahuluiku, dan tidaklah pergi sesuatu yang telah berlalu dariku.” [Ushûl Al-Kâfy, kitab Al-Hujjah 1/196-197]

Nash di atas bukanlah hal aneh dalam buku-buku kaum Syi’ah, bahkan buku-buku mereka berisi pengutamaan Ahlul Bait terhadap para nabi dan para malaikat.

Mereka juga menyebutkan riwayat tentang peremehan terhadap putra Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, Ibrahim. Simpulannya adalah bahwa Jibril mendatangi Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang menimang-nimang anaknya, Ibrahim, dan cucunya, Al-Husain. Jibril pun berkata, “Allah telah mengutusku dan memberi salam kepadamu dan berfirman bahwa dua anak ini tidak berkumpul dalam satu waktu maka pilihlah salah satu di antara keduanya dan korbankanlah yang lainnya.” Kemudian Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam memandangi Ibrahim dan menangis, lalu beliau melihat kepada penghulu para syahid (Al-Husain) dan menangis. Beliau pun berkata, “Sesungguhnya Ibrahim, ibunya hanyalah seorang budak. Kalau dia meninggal, tak seorang pun yang bersedih terhadapnya, kecuali Aku. Adapun Al-Husain, ibunya adalah Fathimah dan ayahnya adalah Ali, sedang (Ali) adalah anak pamanku dan seperti kedudukan ruhku, serta dia adalah darah dan dagingku. Kalau (Al-Husain) meninggal, (Ali) akan bersedih dan Fathimah akan bersedih.” Kemudian beliau berbicara kepada Jibril, “Wahai Jibril, Aku mengorbankan Ibrahim untuk Al-Husain, dan Aku meridhai kematiannya agar Al-Husain dan Yahya tetap hidup.” [Hayâh Al-Qulûb 1/593 karya Al-Majlisy]

Bahkan, terhadap Ali bin Abi Thalib sendiri, mereka menyebutkan kelemahan, ketakutan, dan kehinaan Ali saat Abu Bakr diangkat menjadi khalifah [kitab Salîm bin Qais hal 84, 89]. Ketika kaum Syi’ah menyikapi putri Ali, Ummu Kultsum, yang dinikahi oleh Umar, mereka menyebutkan riwayat dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq bahwa Ja’far berkata, “Itu adalah kemaluan yang telah Kami rampok.” [Furû’ Al-Kâfy 2/141 karya Al-Kulîny]. Dalam riwayat lain disebutkan, “Ali tidak ingin menikahkan putrinya, Ummu Kultsum, dengan Umar, tetapi (Ali) takut terhadap (Umar) sehingga (Ali) mewakilkan kepada pamannya, ‘Abbâs, untuk menikahkan (Umar).” [Hadîqah Asy-Syî’ah hal. 277 karya Muqaddas Al-Ardabîly]

Syaikh Ihsân Ilâhî Zhahîr juga menyebutkan penghinaan kaum Syi’ah terhadap Fatimah, Al-Hasan, Al-Husain, dan keturunannya hingga imam kesepuluh mereka. Makalah ini tidak cukup memuat seluruh hal tersebut.

Sikap Ahlul Bait terhadap Kaum Syi’ah[2]

Dalam buku-buku kaum Syi’ah, mereka menyebutkan bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu‘anhû berkata, “Andaikata aku membedakan Syi’ahku, tidaklah Aku akan mendapati mereka, kecuali sifat yang jelas. Andaikata menguji mereka, tidaklah Aku mendapati mereka, kecuali bahwa mereka telah murtad. Andaikata menyaring mereka di antara seribu orang, tidak akan ada seorang pun yang selamat.” [Raudhah Al-Kâfy 8/338]

Mereka juga menyebutkan ucapan Ali bin Abi Thalib terhadap kaum Syi’ah tatkala mereka berkhianat terhadap beliau. Ali radhiyallâhu‘anhû berkata kepada kaum Syi’ah, “Wahai orang-orang yang mirip lelaki, tetapi bukan lelaki, orang-orang yang berakal anak-anak kecil, dan akal-akal para perempuan bergelang kaki, Aku sangatlah berharap agar tidak melihat kalian dan tidak mengenal kalian dengan pengenalan bergetir penyesalan, demi Allah, dan bertabrak celaan. Semoga Allah memerangi kalian. Sungguh kalian telah memenuhi hatiku dengan nanah, mengumpat dadaku dengan kemarahan, menegukkan tegukan kebusukan yang menyesakkan nafas-nafas kami, dan kalian telah merusak ideku dengan penentangan dan penggembosan sehingga orang-orang Quraisy berkata, ‘Sesungguhnya Ibnu Abi Thalib adalah seorang pemberani, tetapi tidak berilmu tentang peperangan dan tidak memiliki pendapat terhadap orang yang tidak ditaati.’.” [Nahj Al-Balâghah 70-71]

Al-Husain bin Ali radhiyallâhu‘anhumâ juga mendoakan kejelekan terhadap kaum Syi’ah sebagaimana yang mereka sebutkan bahwa beliau berdoa, “Ya Allah, kalau Engkau memberi mereka tenggat waktu, cerai-beraikanlah mereka berkelompok-kelompok, jadikanlah mereka bergolongan-golongan yang beraneka ragam, dan janganlah Engkau menjadikan para pemerintah meridhai mereka selama-lamanya. Sesungguhnya mereka telah memanggil kami untuk menolong kami, tetapi mereka melampaui batas lalu memerangi kami.” [Al-Irsyâd hal. 241 karya Al-Mufîd]

Al-Hasan bin Ali radhiyallâhu‘anhumâ berkata sebagaimana dalam riwayat mereka, “Demi Allah, aku melihat Mu’âwiyah lebih baik bagiku daripada mereka. Mereka menyangka bahwa mereka adalah Syi’ahku, (tetapi) mereka ingin membunuhku dan mengambil hartaku. Demi Allah, andaikata dari Mu’âwiyah aku mengambil sesuatu yang menjaga darahku dan aku melindungi keluargaku, hal itu lebih baik daripada mereka membunuhku sehingga keluargaku akan terlantar. Demi Allah, andaikata aku memerangi Mu’âwiyah, pastilah mereka mengambil leherku hingga mereka menyerahkanku kepada (Mu’âwiyah) dengan selamat. Demi Allah, andaikata aku berdamai dengan (Mu’awiyah) dan berada dalam keadaan mulia, hal itu lebih baik daripada dia membunuhku sebagai tawanan.” [Al-Ihtijâj 2/10]

Ali bin Al-Husain Zainul Abidin berkata, “Bukankah kalian mengetahui bahwa kalian menulis kepada ayahku, tetapi kalian memperdaya beliau serta memberi janji dan persetujuan dari diri-diri kalian, kemudian kalian memerangi dan menelantarkan beliau. Dengan mata apa kalian memandang kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi ketika beliau berkata, ‘Kalian telah membunuh keluargaku dan melanggar kehormatanku. Kalian bukanlah bagian dari umatku.” [Al-Ihtijâj 2/32]

Beliau juga berkata, “Sesungguhnya mereka menangisi kami, tetapi siapa yang membunuh kami kalau bukan mereka?” [Al-Ihtijâj 2/29]

Muhammad bin Ali Al-Bâqir berkata, “Andaikata seluruh manusia adalah Syi’ah kami, pastilah tiga perempatnya adalah orang yang ragu terhadap kami, sedang seperempatnya adalah orang dungu.” [Rijâl Al-Kisysyi hal. 79]

Ja’far bin Muhammad Ash-Shâdiq berkata, “Demi Allah, ketahuila. Andaikata aku menemukan tiga orang mukmin di antara kalian yang (mampu) menyembunyikan pembicaraanku, tentu aku tidaklah halal menyembunyikan pembicaraan terhadap mereka.” [Ushûlul Kâfy 1/496]

Banyak lagi riwayat dari Ahlul Bait yang mengandung celaan dan penjelasan mereka tentang kaum Syi’ah yang mengaku mencintai Ahlul Bait.

Pengkhianatan Kaum Syi’ah terhadap Ahlul Bait tentang Sikap kepada Para Shahabat
Dalam Irsyâd Al-Ghâby Ilâ Madzhab Ahlil Bait Fî Shahbin Naby, Imam Asy-Syaukany menyebutkan dua belas jalur kesepakatan para Imam Ahlul Bait dari berbagai masa tentang sikap mereka yang sesungguhnya terhadap para shahabat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam.

Dalam riwayat-riwayat mereka sendiri, terdapat penyebutan ucapan-ucapan Ahlul Bait yang memuji dan memiliki hubungan baik dengan seluruh para shahabat, termasuk Abu Bakr, Umar, Utsman, dan selainnya.

Nash-nash dalam buku-buku Syi’ah tentang hal tersebut disebutkan dalam kitab Asy-Syî’ah Wa Ahlul Bait karya Syaikh Ihsân Ilâhî Zhahîr rahimahullâh.

Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu‘anhû sendiri memuji para shahabat dalam ucapan beliau, “Sungguh aku telah melihat para shahabat Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi. Aku tidak melihat seorang pun di antara kalian yang menyerupai mereka! Sungguh pada waktu pagi mereka kusut lagi berdebut, pada waktu malam mereka bersujud dan melakukan qiyâm. Mereka beristirahat antara dahi-dahi dan pipi-pipi mereka, dan berhenti seperti bara-bara api ketika mengingat hari kebangkitan, seakan-akan antara mata-mata mereka seperti bekasan kambing karena sujud mereka yang panjang. Apabila Allah disebut, berlinanglah mata-mata mereka sehingga membasahi dada-dada mereka, bergoyang seperti pepohonan bergoyang pada hari saat angin kencang, karena takut terhadap siksaan dan harapan akan pahala.” [Nahj Al-Balâghah hal. 143]

Selain itu, telah berlalu penyebutan beberapa anak dari Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan, dan Al-Husain radhiyallâhu‘anhum yang bernama Abu Bakr, Umar, dan Utsman. Hal ini menunjukkan kedekatan antara Ahlul Bait dan Khulafa` Ar-Rasyidin, yang berbeda dengan Syi’ah yang mengafirkan para shahabat, khususnya tiga Khulafa` Ar-Rasyidin.

Pembunuhan Al-Husain[3]

Di antara kamus pengkhianatan kaum Syi’ah adalah pembunuhan mereka terhadap Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu‘anhumâ. Berikut kisah tersebut secara ringkas.

Pada tahun 60 H, Yazîd bin Mu’âwiyah dibaiat sebagai khalifah, padahal umur beliau masih 34 tahun. Al-Husain dan Abdullah bin Az-Zubair tidak berbaiat kepada Yazîd bin Mu’âwiyah, padahal beliau berdua berada di Madinah. Kemudian keduanya keluar dari Madinah menuju Makkah tanpa berbaiat. Kejadian tersebut terdengar oleh penduduk Kufah yang notabene merupakan orang-orang yang mengaku loyal kepada Ali bin Abi Thalib dan anak-anaknya. Mereka pun mengirim berbagai surat kepada Al-Husain yang menyatakan, “Kami telah membaiatmu, kami tidak menginginkan, kecuali engkau. Di leher kami tiada baiat untuk Yazîd, tetapi baiat hanya untukmu.” Semakin banyak surat yang sampai kepada Al-Husain hingga lebih dari lima ratus surat. Semua surat itu berasal dari penduduk Kûfah.

Menanggapi hal tersebut, Al-Husain radhiyallâhu‘anhumâ mengirim anak pamannya, Muslim bin ‘Aqîl bin Abi Thalib, untuk mengetahui hakikat perkara. Begitu tiba di Kûfah, Muslim pun segera bertanya-tanya ke sana-sini sehingga Muslim mengetahui bahwa manusia tidak menginginkan Yazîd, tetapi menginginkan Al-Husain. Ketika Muslim berlabuh di rumah Hâni` bin ‘Urwah, manusia pun berbondong-bondong mendatangi rumah Hâni` dan membaiat Muslim di atas baiat kepada Al-Husain. Kemudian Muslim mengirim pesan kepada Al-Husain agar Al-Husain segera datang ke Kûfah.

Hal tersebut terdengar oleh Yazid, yang kemudian mengutus ‘Ubaidullah bin Ziyâd sebagai gubernur Kufah untuk menanggapi kejadian tersebut. Setelah memastikan dan menyelidiki kepastian berita, segeralah Ubaidullah menahan Hâni` bin ‘Urwah. Mendengar Hâni` bin ‘Urwah tertahan, Muslim keluar dengan membawa empat ribu orang penduduk Kûfah yang telah membaiat Al-Husain.

Hanya dalam hitungan beberapa saat, tidaklah tersisa di antara empat ribu, kecuali tiga puluh orang, setelah ‘Ubaidullah memberi janji-janji pemberian untuk sebagian orang terpandang agar membuat penduduk Kûfah takut terhadap tentara Syam, yang berada pada pihak Yazîd bin Mu’âwiyah. Setelah matahari terbenam, tidak tersisa seorang pun, kecuali Muslim bin ‘Aqîl seorang diri.

‘Ubaidullah bin Ziyâd kemudian menawan dan membunuh Muslim pada hari ‘Arafah. Namun, sebelumnya, Muslim telah mengirim wasiat kepada Al-Husain, menceritakan peristiwa tersebut agar Al-Husain kembali dan tidak tertipu oleh penduduk Kûfah.

Al-Husain, yang telah berangkat ke Kûfah semenjak hari Tarwiyah, menerima pesan dari Muslim bin Aqîl dan telah berniat kembali ke Makkah. Namun, sebagian anak Muslim yang ikut bersama rombongan memberi saran agar rombongan tetap berangkat supaya dia bisa menuntut darah ayahnya.

Akhirnya, Al-Husain tetap berangkat menuju Iraq hingga tiba di Karbalâ`, dan beliau terbunuh sebagai syahid di tempat tersebut berserta tujuh belas orang Ahlul Bait dari anak-anak Al-Husain, Al-Hasan, ‘Aqil, dan Abdullah bin Ja’far pada 10 Muharram 61 H.

Kaum Syi’ah bercerita, “Dua puluh ribu orang penduduk Iraq membaiat Al-Husain, tetapi kemudian berkhianat terhadap beliau dan keluar memerangi mereka, padahal baiat berada di leher-leher mereka, kemudian mereka membunuh (Al-Husain).” [Muhsin Al-Amin dalam bukunya, A’yân Asy-Syî’ah, bagian pertama hal. 34]

Al-Mas’ûdy berkata, “Seluruh tentara, yang menghadiri pembunuhan Al-Husain serta memerangi dan membunuh beliau, hanyalah penduduk Kufah. Tidak ada seorang penduduk Syam pun yang hadir.” [Murawwij Adz-Dzahab 3/76]

Al-Mas’ûdy juga berkata, “Begitu bala tentara semakin banyak (mengepung) Al-Husain, dan beliau menyangka tidak akan selamat lagi, beliau berdoa, ‘Ya Allah, tetapkanlah hukum antara kami dan kaum yang memanggil kami, tetapi kemudian mereka sendiri yang membunuh kami.” [Murawwij Adz-Dzahab 3/75]

Setelah kita mengetahui siapa sebenarnya pembunuh Al-Husain radhiyallâhu‘anhumâ, ternyata kaum Syi’ah tidak mencukupkan diri dengan pengkhianatan mereka. Bahkan, mereka membuat kedustaan-kedustaan terhadap Ahlul Bait akan anjuran untuk merayakan dan memperingati hari Karbalâ`(hari Âsyûrâ`, 10 Muharram).

Rujukan kaum Syi’ah, Ath-Thûsy, meriwayatkan dengan sanadnya dari Ali bin Musa Ar-Ridha bahwa Ali bin Musa berkata, “Siapa saja yang meninggalkan upaya menunaikan hajatnya pada hari Âsyûrâ`, Allah akan menunaikan hajatnya di dunia dan akhirat. Siapa saja yang menjadikan hari Âsyûrâ` sebagai hari musibah, bersedih, dan menangisnya, Allah ‘Azza Wa Jalla akan menjadikannya pada hari kiamat sebagai hari kegembiraan dan kesenangan, serta menyejukkan mata kami di surga ….” [Amâlî Ath-Thûsy hal. 194, Bihâr Al-Anwâr 44/284]

Al-Barqy meriwayatkan dengan sanadnya hingga Ja’far Ash-Shâdiq, bahwa Ja’far berkata, “Siapa saja yang Al-Husain disebut di sisinya, kemudian meneteskan air mata, walaupun seperti sayap nyamuk, dosanya akan diampuni, meskipun seperti buih di lautan.” [Al-Mahâsin hal. 36, Bihâr Al-Anwâr 44/289]

Bahkan, Al-Mufid meriwayatkan dengan sanadnya hingga Al-Husain bin Ali sendiri, bahwa Al-Husain berkata, “Tidak ada seorang hamba pun yang berlinang air mata untuk kami atau meneteskan satu tetes air mata untuk kami, kecuali bahwa Allah akan memasukkannya ke dalam Surga dalam kurun waktu yang panjang.” [Amâlî Al-Mufîd hal. 209, Bihâr Al-Anwâr 44/279]

Demikianlah segelintir kedustaan kaum Syi’ah dalam pembunuhan terhadap Al-Husain bin Ali radhiyallâhu‘anhumâ.

Kami Perlu mengingatkan bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الخُدُودَ، وَشَقَّ الجُيُوبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الجَاهِلِيَّةِ
“Bukanlah dari kami, orang yang memukul pipinya, menyobek kantong bajunya, serta menyeru dengan seruan jahiliyah.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ûd radhiyallâhu‘anhû]

------------------------------------------------------------------------------------
[1] Disadur dari kitab Asy-Syî’ah Wa Ahlul Bait karya Syaikh Ihsân Ilâhî Zhahîr rahimahullâh.
[2] Disadur dari Kasyf Al-Asrâr Wa Tabriah Al-A`immah Al-Athhâr hal. 14-18 karya Sayyid Husain Al-Musawy, seorang ulama Najaf.
[3] Diringkas dari Huqbah Min At-Târikh karya ‘Utsmân Al-Khumayyis hal. 229-259, Al-‘Aqidah Fî Ahlil Bait Bain Al-Ifrâd Wa At-Tafrîd karya Sulaimân As-Suhaimy hal. 490-504, dan Man Qatala Al-Husain karya Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz.

Sumber: Ust. Dzulqarnain
Read More...

Peringatan Pengurus Besar Nahdlatul-Ulama (NU) akan Bahaya Syi'ah

Jangan terkecoh oleh manuver-manuver pribadi Sa'id Agil Siradj yang mengatasnamakan NU dalam memuji dan merekomendasikan agama Syi'ah. Pendirian NU masih tetap dengan menganggap Syi'ah adalah agama/pemahaman SESAT.

pandangan NU terhadap syiah

Sumber: Ust. Abul Jauzaa
Read More...

Para Shahabat Nabi di Mata Ahlul Bait

ahlul bait
Ahlul-Bait mencintai, menghormati, dan mendoakan shahabat Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah kaum mukminiin yang bersaudara. Tidak ada sama sekali permusuhan sebagaimana sebagian orang merekayasa permusuhan di antara mereka. Silakan simak riwayat berikut :

Generasi shahabat adalah generasi terbaik dalam Islam.
بأسناده عن موسى بن جعفر بن محمد ، عن آبائه عليهم السلام قال : قال رسول الله صلى الله عليه واله : القرون أربعة : أنا في أفضلها قرنا ، ثم الثاني ، ثم الثالث ، فإذا كان الرابع اتقى الرجال بالرجال ، والنساء بالنساء ، فقبض الله كتابه من صدور بني آدم ، فيبعث الله ريحا سوداء ثم لا يبقى أحد - سوى الله تعالى - إلا قبضه الله إليه

Dengan sanadnya dari Muusaa bin Ja’far, dari ayah-ayahnya ‘alaihim as-salaam, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi : “Jaman (masa) itu ada empat. Jaman yang aku ada di dalamnya adalah jaman yang paling utama, kemudian yang kedua, kemudian ketiga…..” [Bihaarul-Anwaar oleh Al-Majlisiy, 6/314-315].

Di sebagian riwayat, perkataan di atas dinisbatkan pada ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu [lihat : Di’aaimul-Islaam, 2/455 no. 1595].

Jaman (masa) ketika beliau masih hidup adalah jaman para shahabat. Begitu pula jaman ketika beliau telah meninggal yang disebutkan sebagai jaman kedua yang paling utama, itupun masih jaman para shahabat radliyallaahu ‘anhum (dan taabi’iin).

Perkataan ini sesuai dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang ada dalam referensi kaum muslimin :
عَنْ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Dari ‘Imraan bin Hushain radliyallaahu ‘anhumaa berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “"Sebaik-baik ummatku adalah yang orang-orang hidup pada jamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka kemudian orang-orang yang datang setelah mereka" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3650, Muslim no. 2535, An-Nasaa’iy 7/17, Ahmad 4/426-427, dan Abu Dawud no. 4657].

Para shahabat adalah mukmin sejati
حدثنا أحمد بن زياد بن جعفر الهمداني رضي الله عنه قال: حدثنا علي ابن إبراهيم بن هاشم، عن أبيه، عن محمد بن أبي عمير، عن هشام بن سالم، عن أبي عبد الله عليه السلام قال: كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وآله اثني عشر ألفا ثمانية آلاف من المدينة، و ألفان من مكة، وألفان من الطلقاء، ولم ير فيهم قدري ولا مرجي ولا حروري ولا معتزلي، ولا صحاب رأي، كانوا يبكون الليل والنهار ويقولون: اقبض أرواحنا من قبل أن نأكل خبز الخمير
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ziyaad bin Ja’far Al-Hamdaaniy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Ibraahiim bin Haasyim, dari ayahnya, dari Muhammad bin Abi ‘Umair, dari Hisyaam bin Saalim, dari Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam : “Para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalih berjumlah 12.000 orang, dimana 8.000 orang diantaranya berasal dari Madiinah, 2.000 orang dari Makkah, dan 2.000 orang dari kalangan thulaqaa’ (yang masuk Islam pasca Fathu Makkah). Tidak ada di kalangan mereka yang mempunyai pemikiran Qadariy, Murji’, Haruriy, Mu’taziliy, maupun rasionalis. Mereka senantiasa menangis pada malam dan siang hari, seraya berdoa : ‘Cabutlah nyawa kami sebelum kami sempat makan roti adonan” [Al-Khishaal oleh Ash-Shaduuq, hal. 639-640].

Katanya, riwayat ini shahih [lihat : sini].

Menurut Abu ‘Abdillah – imam Syi’ah –, keimanan para shahabat yang berjumlah 12.000 orang tidak tercemari ‘aqidah yang menyimpang.

Para shahabat adalah orang yang keimanannya kuat dan rajin beribadah
Para shahabat yang berjumlah 12.000 orang tersebut di atas, mereka disifati oleh ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu sebagai berikut :
لقد رأيت أصحاب محمّد صلّى اللّه عليه و آله ، فما أرى أحدا منكم يشبههم لقد كانوا يصبحون شعثا غبرا ، و قد باتوا سجّدا و قياما ، يراوحون بين جباههم و خدودهم ، و يقفون على مثل الجمر من ذكر معادهم كأنّ بين أعينهم ركب المعزى ، من طول سجودهم إذا ذكر اللّه هملت أعينهم حتّى تبلّ جيوبهم ، و مادوا كما يميد الشّجر يوم الرّيح العاصف ، خوفا من العقاب ، و رجاء للثّواب
“Sungguh aku telah melihat shahabat-shahabat Muhammad shallallaahu ’alaihi wa aalihi. Maka, tidaklah aku melihat seorangpun yang menyerupai mereka (dalam hal ketaatan dan keimanan). Di waktu pagi hari mereka kusut berdebu (karena bekerja keras), dan di malam hari mereka sujud dan berdiri (menghadap Allah), dengan bergantian antara dahi dan pipi mereka. Mereka berdiri seakan-akan di atas bara api karena ingat tempat kembali mereka (yaitu kampung akhirat). Antara dua mata mereka (ada bekas) seperti lutut kambing karena lamanya sujud mereka. Apabila disebut nama Allah, meneteslah air mata mereka sehingga membasahi dada mereka. Hati mereka goncang seperti goncangnya pohon yang diterpa angin keras karena takut akan siksaan Allah dan mengharap pahala-Nya” [Nahjul-Balaaghah, hal. 238-239].

Para shahabat adalah orang-orang terpercaya membawakan riwayat
عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ أَبِي نَجْرَانَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ حُمَيْدٍ عَنْ مَنْصُورِ بْنِ حَازِمٍ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) مَا بَالِي أَسْأَلُكَ عَنِ الْمَسْأَلَةِ فَتُجِيبُنِي فِيهَا بِالْجَوَابِ ثُمَّ يَجِيئُكَ غَيْرِي فَتُجِيبُهُ فِيهَا بِجَوَابٍ آخَرَ فَقَالَ إِنَّا نُجِيبُ النَّاسَ عَلَى الزِّيَادَةِ وَ النُّقْصَانِ قَالَ قُلْتُ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ( صلى الله عليه وآله ) صَدَقُوا عَلَى مُحَمَّدٍ ( صلى الله عليه وآله ) أَمْ كَذَبُوا قَالَ بَلْ صَدَقُوا .......
‘Aliy bin Ibraahiim, dari ayahnya, dari Ibnu Abi Nahraan, dari ‘Aashim bin Humaid, dari Manshuur bin Haazim, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam : “Bagaimana bisa ketika aku bertanya kepada satu permasalahan, engkau menjawabnya dengan satu jawaban, kemudian datang orang lain kepadamu lalu engkau menjawabnya dengan jawaban lain ?”. Ia menjawab : “Sesungguhnya kami menjawab pertanyaan (manusia) dengan kalimat lebih dan kurang”. Lalu aku berkata : “Khabarkanlah kepadaku tentang shahabat-shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi, apakah mereka benar/jujur dalam perkataannya tentang Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa aalihi, ataukah mereka telah berdusta ?”. Ia menjawab : “Bahkan mereka benar/jujur……” [Al-Kaafiy oleh Al-Kulainiy, 1/65 no. 3].

Kata Al-Majlisiy, riwayat di atas derajatnya hasan [Mir’atul-‘Uquul, 1/216].

Tidak boleh membenci dan mencela para shahabat
Hasan Al-‘Askariy rahimahullah –salah seorang imam Syi’ah – berkata :
وإن رجلا ممن يبغض [آل] محمد وأصحابه الخيرين أو واحدا منهم لعذبه الله عذابا لو قسم على مثل عدد ما خلق الله تعالى لأهلكهم أجمعين.
“Dan sesungguhnya seseorang yang membenci keluarga Muhammad dan shahabat-shahabatnya yang baik, atau hanya seorang saja dari kalangan mereka, niscaya Allah akan mengadzabnya dengan adzab yang seandainya dibagi kepada seluruh ciptaan Allah, maka akan binasa semua” [Tafsiir Al-Imaam Al-‘Askariy, hal. 392].

عن الصادق، عن آبائه، عن علي صلوات الله عليهم قال: أوصيكم بأصحاب نبيكم، لا تسبوهم، الذين لم يحدثوا بعده حدثا، ولم يؤوا محدثا، فإن رسول الله أوصى بهم
Dari Ash-Shaadiq, dari ayah-ayahnya, dari ‘Aliy shalawaatullahi ‘alaihim, ia berkata : “Aku wasiakan kepada kalian shahabat-shahabat Nabi kalian. Janganlah kalian mencela mereka, yang mereka itu tidak pernah mengada-adakan sesuatu yang baru sepeninggal beliau. Tidak pula mereka memuliakan orang yang berbuat bid’ah. Sesungguhnya Rasulullah telah berwasiat kepadaku tentang mereka” [Mustadrak Safiinatil-Bihaar oleh Asy-Syahruudiy, 6/173].

Ini sesuai dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang ada dalam referensi kaum muslimin :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah kalian mencela shahabat-shahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian menginfaqkan emas sebesar bukit Uhud, tidak akan ada yang menyamai satu timbangan (pahala) seorangpun dari mereka, juga tidak akan sampai setengahnya" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3673, Muslim no. 2541, Ahmad 3/11, Abu Dawud no. 4658, At-Tirmidziy no. 3860, dan Abu Ya’laa no. 1171 & 1198].

Dianjurkan mendoakan kebaikan bagi shahabat
 ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu berkata :
وفي المهاجرين خير كثير تعرفه جزاهم الله خيرا بأحسن أعمالهم
“Dan bagi kaum Muhaajiriin terdapat banyak kebaikan yang dapat kalian ketahui. Semoga Allah membalas mereka kebaikan, atas amal-amal kebaikan mereka tersebut” [Bihaarul-Anwaar, 33/112].

Ini sesuai dengan firman Allah ta’ala :
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshaar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” [QS. At-Taubah : 100].

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang" [QS. Al-Hasyr : 10].

******

Berdasarkan riwayat-riwayat yang disebutkan di atas Pembaca dapat mengetahui bahwa kita (Ahlus-Sunnah) adalah Syi’ah (pembela) ‘Aliy dan Ahlul-Bait yang sejati, karena kita membela dan mengikuti ajaran mereka. Sedangkan mereka (Syi’ah Raafidlah) adalah Naashibiy (pembenci Ahlul-Bait) sejati karena membenci dan memusuhi ajaran mereka, khususnya dalam hal mencintai dan menghormati para shahabat Nabi.

Wallaahul-musta’aan.

Sumber: Ust. Abul Jauzaa
Read More...

Menghalalkan Segala Cara untuk Menjatuhkan Lawan, Meskipun dengan Dusta

syiah tukang dusta, syiah tukang bohong
Al-Kulainiy bilang :
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْحُسَيْنِ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي نَصْرٍ عَنْ دَاوُدَ بْنِ سِرْحَانَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ( صلى الله عليه وآله ) إِذَا رَأَيْتُمْ أَهْلَ الرَّيْبِ وَ الْبِدَعِ مِنْ بَعْدِي فَأَظْهِرُوا الْبَرَاءَةَ مِنْهُمْ وَ أَكْثِرُوا مِنْ سَبِّهِمْ وَ الْقَوْلَ فِيهِمْ وَ الْوَقِيعَةَ وَ بَاهِتُوهُمْ كَيْلَا يَطْمَعُوا فِي الْفَسَادِ فِي الْإِسْلَامِ وَ يَحْذَرَهُمُ النَّاسُ وَ لَا يَتَعَلَّمُوا مِنْ بِدَعِهِمْ يَكْتُبِ اللَّهُ لَكُمْ بِذَلِكَ الْحَسَنَاتِ وَ يَرْفَعْ لَكُمْ بِهِ الدَّرَجَاتِ فِي الْآخِرَةِ .
Muhammad bin Yahyaa, dari Muhammad bin Al-Husain, dari Ahmad bin Muhammad bin Abi Bashr, dari Daawud bin Sirhaan, dari Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi : “Apabila engkau melihat orang yang menyimpang (penimbul keraguan) dan ahlul-bida’ setelahku, maka nampakkanlah sikap bara’ah (berlepas diri) dari mereka; dan perbanyaklah cacian, perkataan jelek, dan celaan terhadap mereka. Tuduhlah mereka dengan kebohongan agar mereka tidak lagi tamak dalam menimbulkan kerusakan pada Islam. Peringatkanlah manusia tentangnya, dan jangan pelajari kebid’ahan mereka. Niscaya Allah akan menuliskan bagi kalian atas hal tersebut kebaikan-kebaikan, dan akan Allah angkat kalian dengannya beberapa derajat di akhirat” [Al-Kaafiy, 2/375]. Kata Al-Majlisiy, riwayat itu shahih [Mir’atul-‘Uquul, 11/77].[1]

Riwayat di atas mengandung pengertian bahwa jika ada seseorang yang dianggap menyimpang dari agama (Syi’ah), disukai untuk memperbanyak celaan, makian, dan tuduhan – meski bohong – demi kemaslahatan agama (Syi’ah).

Dalam tataran praktek, amalan ini ditegaskan dan dianjurkan oleh para pembesar Syi’ah.
Al-Khuu’iy – ulama besar Syi’ah – pernah ditanya :
هل يجوز الكذب على المبدع أو مروج الضلال في مقام الاحتجاج عليه إذا كان الكذب يدحض حجته ويبطل دعاويه الباطلة؟
“Apakah diperbolehkan berdusta atas Ahlul-Bid’ah dan penganjur kesesatan saat berhujjah/berdebat dengan mereka, apabila kedustaan itu dapat membantah hujah mereka dan membatalkan dakwah mereka yang baathil ?”.

Al-Khuu’iy menjawab :
إذا توقف رد باطله عليه جاز
“Apabila hal itu dapat menghentikan dan membantah kebathilan mereka, maka diperbolehkan” [Shiraathun-Najaah, 1/447 – sumber : sini].

Bagi Syi’ah, orang yang dianggap paling menyimpang dan sekaligus musuh bagi agama mereka adalah Ahlus-Sunnah. Khususnya lagi, Wahabiy.

Setelah merenung, saya pun menjadi paham kenapa orang Syi’ah selama ini sangat murah mengumbar dusta terhadap Ahlus-Sunnah. Menuduh antek Amerika lah, antek Zionis lah, dan yang semisalnya.[2] Menjadi paham pula kenapa mereka berani merekayasa sandiwara meninggalnya Al-Buuthiy, merekayasa fatwa MUI, berani berdusta saat KTT Non-Blok, dan berdusta terhadap Asy-Syaikh ‘Adnaan ‘Ar’uur [baca : sini].

Benar, orang Ahlus-Sunnah memang ada yang berdusta, bahkan banyak. Hanya saja bedanya, Ahlus-Sunnah berkeyakinan dusta mereka diancam nereka, sedangkan dusta mereka (Syi’ah) akan meninggikan derajat mereka dan berpahala.

Susah diharapkan.......

Wallaahul-musta’aan.

NB : Saya pribadi yakin seyakin-yakinnya bahwa perkataan yang dinisbatkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Abu ‘Abdillah rahimahullah dalam riwayat Syi’ah di atas adalah dusta.

-----------------------------------------------------------------------------------------
[1]      Para peneliti Syi’ah menshahihkan hadits ini dan berhujjah dengannya saat menjawab pertanyaan, seperti misal di : http://www.aqaed.com/faq/1857/.
[2]      Padahal, sejarah sendiri belum pernah mencatat orang Syi’ah berkonfrontasi secara nyata dan terbuka dengan Amerika dan Israel/Yahudi. Saat orang-orang Yahudi menginvasi bumi Syaam/Al-Quds, siapakah yang aktif melawan mereka ?. Jawab : Ahlus-Sunnah. Dimanakah orang-orang Syi’ah kala itu ?. Entahlah. Saat Israel menyerang Libanon karena ulah Hizbullah pimpinan Hasan Nashrullah, dimanakah mereka saat itu ?. bersembunyi di dalam bunker, dan membiarkan penduduk (yang mayoritas Ahlus-Sunnah) dibombardir.
‘Iraan nyata-nyata mempunyai fasilitas nuklir yang ditengarai membahayakan stabilitas Timur Tengah. Kenapa Amerika tidak menyerang mereka, sementara Amerika sangat cekatan menyerang ‘Iraaq (salah satunya) dengan tuduhan sama padahal tak pernah terbukti ?.

Sumber: Ust. Abul Jauzaa
Read More...

KAUM SYIAH, GOLONGAN PEMALSU HADITS TERDEPAN

Kemunculan orang-orang yang berkepentingan duniawi dan dengki terhadap Islam, dan manusia-manusia yang masuk Islam dengan membawa kepentingan untuk merusaknya dari dalam menjadi penyebab tersulutnya fitnah besar di tengah umat Islam yang berujung pada terbunuhnya Khalifah ‘Utsmân Radhiyallahu anhu dan berkobarnya peperangan-peperangan yang memecah kesatuan umat. Selanjutnya, timbullah golongan-golongan (sesat) dalam Islam. Masing-masing golongan berupaya membenarkan pendapat (ideologi)nya dengan memalsukan hadits-hadits atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dari situlah, hadits-hadits palsu berkembang. Tema-temanya pun beragam, di antaranya berisi keutamaan seseorang, madzhab, wilayah tertentu atau sebaliknya menyerang orang-orang maupun kelompok tertentu.

SEBAB PEMALSUAN HADITS
Usaha-usaha pemalsuan hadits atas nama Rasûlullâh n didorong oleh berbagai motivasi dan kepentingan. Di antaranya, bertujuan merusak aqidah Islam, mencari popularitas, fanatisme madzhab, mengais penghidupan seperti yang dilakukan oleh qushshâsh (para tukang cerita).

“Pemalsuan hadits yang terjadi, bukanlah fenomena kebetulan yang muncul tanpa direncanakan. Akan tetapi, merupakan gerakan dengan orientasi tertentu dan perencanaan yang komprehensif. Gerakan ini memiliki bahaya dan dampak buruk besar. Di antara dampak buruknya yang langsung mengenai sekian banyak generasi Islam di banyak negeri, tersebarnya pendapat-pendapat yang aneh, kaedah-kaedah fiqih yang syadz, dan keyakinan menyimpang serta pandangan-pandangan yang lucu. Hal-hal yang menyimpang ini didukung dan dipropagandakan oleh golongan-golongan sesat dan kelompok-kelompok tertentu…Sering kali hadits-hadits palsu ini bertentangan dengan akhlak dan akal yang lurus, dan apalagi dengan Kitabullâh dan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “.[1]

KAUM SYIAH, GOLONGAN TERDEPAN YANG MEMALSUKAN HADITS
Salah satu langkah yang ditempuh golongan batil untuk mencari pengikut, yaitu melalui pengadaan hadits-hadits palsu dan menyebarluaskannya di tengah manusia. Pasalnya, mereka tahu benar bahwa kaum Muslimin sangat mencintai sunnah (hadits-hadits) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ingin mengetahui lebih mendalam. Selanjutnya, mereka ini (golongan batil) mereka-reka hadits-hadits (palsu) dan menisbatkannya kepada Rasûlullâh Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika kaum Muslimin mendengarkannya, umat akan memahami itu merupakan perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menganggapnya sebagai kebenaran. Padahal sejatinya itu adalah hadits palsu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengucapkan atau melakukannya sama sekali. !

Golongan batil ini tidak hanya berdusta atas Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi juga memalsukan riwayat-riwayat dengan mencatut nama-nama Ulama Islam yang menjadi teladan bagi umat agar kebatilan mereka lebih dikenal khalayak.

Kaum Syiah, inilah golongan terdepan yang memalsukan hadits-hadits atas nama Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang paling nekat dalam usaha ini. Mereka sudah terbiasa berdusta dan berbohong. Orang yang sudah terbiasa berdusta, tidak akan berpikir panjang saat akan berdusta atas nama Allâh Azza wa Jalla , Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi atas nama manusia biasa. Kedustaan-kedustaan itu sama saja dalam pandangan mereka. Terutama bila tujuan mereka ialah untuk menyesatkan dan mendangkalkan keyakinan orang di luar kaum Syiah. Apapun dipandang boleh, demi mencapai tujuan yang diinginkan. Persoalan moral tidak diperhatikan selama bertujuan mewujudkan langkah yang telah direncanakan. !!? Kaidah yang mereka tempuh ialah ‘tujuan menghalalkan segala cara’. Setiap cara apapun –paling buruk sekalipun- akan dipandang boleh jika merealisasikan tujuan dan mengantarkan mereka menuju target yang diinginkan.

USHUL KAFI, KITAB RUJUKAN TERPENTING KAUM SYIAH, BERISI RIBUAN HADITS PALSU
Cukuplah Anda tahu bahwa kitab terpenting kaum Syiah, yaitu Ushûl Kâfi sebagai bukti kedustaan kaum Syiah. Mereka katakan sendiri bahwa kitab ini memuat ribuan hadits palsu. Seorang Ulama kontemporer kaum Syiah, at-Tijâni ,mengakuinya sendiri dalam buku yang ia tulis dengan judul Fas alû Ahladz Dzkir.[2]

Bila sedemikian banyak hadits palsu dalam satu kitab saja, berapa banyak lagi hadits-hadits yang mereka palsukan di dalam kitab-kitab mereka yang lain? Bagaimana mungkin buku-buku yang berisi kedustaan seperti ini dipercaya?

KEUTAMAAN HADITS ZIARAH KUBUR WALI, BUATAN KAUM SYIAH
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyampaikan bahwa orang terdepan yang memalsukan hadits tentang disyariatkannya safar (bepergian jauh) untuk mengunjungi kubur-kubur wali adalah kaum Syiah. Mereka telah menyebabkan masjid-masjid kosong, dan sebaliknya meramaikan kompleks makam. Mereka tinggalkan rumah-rumah Allâh Azza wa Jalla (masjid-masjid) yang menjadi tempat dzikrullâh, sementara makam-makam wali yang sering kali menjadi tempat praktek perbuatan syirik mereka agung-agungkan. Padahal al-Qur`an dan Hadits memerintahkan untuk mengagungkan masjid-masjid, bukan kuburan[3]

ANDIL KAUM SYIAH DALAM MENCORENG SEJARAH ISLAM
Kaum Syiah berkepentingan untuk menyuguhkan sejarah Islam yang buruk di mata umatnya dan memalsukan hadits. Sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkemuka, Abu Bakar Radhyallahu anhu, ‘Umar Radhiyallahu anhu dan ‘Utsmân Radhiyallahu anhu, mereka bidik dengan berbagai cacian dan cercaan.

Apabila kita menelaah buku-buku sejarah yang berbicara tentang fitnah, ternyata riwayat-riwayat yang membekaskan keraguan-keraguan mendalam itu berpangkal dari empat orang saja: Abu Mikhnaf Lûth bin Yahya, al-Wâqidi, Muhammad bin Sâib al-Kalbi, putranya Hisyâm bin Muhammad bin Sâib al-Kalbi. Empat orang ini merupakan tokoh-tokoh yang berjasa dalam pandangan kaum Syiah. Kitab-kitab kaum Syiah sarat dengan pujian bagi mereka berempat tersebut.

Dengan ini, dapat diketahui bahwa kaum Syiah termasuk golongan paling berbahaya bagi Islam. Wallâhu a’lam

Oleh: Ustadz DR. Ali Musri Semjan Putra

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XV/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Via: almanhaj.or.id
_______
[1]. Muqoddimah muhaqqiq kitab al-Maudhû’ât karya Ibnul Jauzi
[2]. Hlm. 34
[3]. Iqtidhâ Shirâthal Mustaqîm hlm. 391
Read More...